Sering Dicela? Sering Dihina? Ini Dia Manajemen Sebuah Celaan

Di dalam kehidupan bermasyarakat, tentu saja kita akan mendapatkan berbagai macam sifat dari orang-orang yang kita kenal. Kita juga akan mendapatkan berbagai macam tanggapan orang lain dari apa yang kita kerjakan. Terkadang kita dipuji orang karena perbuatan baik kita, atau karena memuaskan orang lain. Tetapi terkadang kita dicela orang, karena perbuatan kita dianggap bersalah atau tidak memuaskan orang lain.

Akan tetapi sesungguhnya yang terpenting bagi kita adalah, bahwa di dalam setiap gerakan/aktifitas/pekerjaan yang kita kerjakan, bukan semata-mata akan mencari pujian, atau menghindarkan dan menjauhan diri dari celaan orang, akan tetapi setiap pekerjaan yang kita kerjakan hendaknya harus menggunakan standar asas kebenaran dan kemanfaatan bagi sesama umat manusia. Atau dengan kata lain semangat spiritualisme harus menjadi dasar setiap aktifitas kita. Bukan hanya semata-mata materi dan dunia yang kita kejar, akan tetapi aktifitas kita harus senantiasa menjadi bagian dari ibadah kita kepada Allah SWT.




Sebagaimana perbuatan ibadah yang lainnya, seperti itu pula perbuatan baik kita kepada orang lain haus senantiasa kita niatkan dengan ikhlas dalam rangka mencari ridha Allah. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan, ketika kebenaran-kebenaran yang kita bawa, tidak banyak yang akan menyambutnya dengan baik. Terkadang dibalasnya dengan sebuah celaan atau hinaan. Oleh karena itu kita harus bisa memanaj sebuah celaan sebagai cambuk pada diri kita untuk tetap dan terus berbuat kebaikan dengan cara:

1. Bersabar
Ketika kebenaran yang kita bawa, kita sampaikan kepada seseorang disambutnya dengan sebuah hinaan, celaan, maka tidak ada balasan dan sambutan yang lebih baik kita berikan kepada seseorang kecuali besabar dan menyerahkan semua urusan kepada Allah. Karena sesungguhnya kita hanya akan berusaha berbuat baik dan menabur kebaikan ikhlas dalam rangka mencari ridha Allah, maka hasil baik dan buruknya juga hendaknya kita serahkan kepada Allah SWT.

Kesabaran kita juga menjadi ukuran dari keikhlasan amaliah kita. Kalau di dalam beraktifitas, bekerja baik di kantor di kebun dan dimana saja kita ikhlas, maka ucapan baik dan buruk, pujian dan celaan yang datang kepada kita tidaklah penting bagi kita. Akan tetapi kalau keikhlasan sudah mengering di dalam hati kita, orientasi kerja hanya untuk mencari pujian dan upah dunia saja, maka ketika itu tidak kita dapatkan kesabaranpun akan hilang. Dan kita tidak mendapatkan apa-apa baik di dunia maupun di akherat.


وَٱلَّذِينَ صَبَرُواْ ٱبۡتِغَآءَ وَجۡهِ رَبِّهِمۡ وَأَقَامُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَنفَقُواْ مِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ سِرّٗا وَعَلَانِيَةٗ وَيَدۡرَءُونَ بِٱلۡحَسَنَةِ ٱلسَّيِّئَةَ أُوْلَٰٓئِكَ لَهُمۡ عُقۡبَى ٱلدَّارِ


“Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik)” (QS. Ar Ra’ad: 22)

2. Celaan sebagai instrospeksi diri
Orientasi kerja seorang mukmin hendaknya tidak hanya akan mencari pujian orang lain belaka. Akan tetapi kerja seorang mukmin semata-mata karena panggilan nurani dan tanggungjawab hidup sebagai seorang hamba di muka bumi.

Maka terhadap semua celaanyang mngkin akan datang menghampiri kita, janganlah merasa takut, sakit hati, minder dsb. Akan tetapi celaan yang datang kepada diri kita hendaknya kita sikapi sebagai sebuah cambuk untuk berintrospeksi diri terhadap apa saja yang kita kerjakan. Barangkali selama ini kita menilai benar dan tidaknya pekerjaan hanya menurut kebutuhan dan selera kita saja tanpa melihat bagaimana orang ain. Kalu demikian halnya artinya kita bekerja belum membuahkan sebuah ihsan dalam kehidupan ini.

Seorang mukmin hendaknya tidak perlu anti dengan sebuah kritik maupun celaan. Akan tetapi teruslah bekerja dngan melihat baik burknya hasil kerja kita dari kacamata Agama dan nilai-nilai ketuhanan kita. Dan samakanlah orang lain dengan diri kita sendiri. Bagaimana kalau seandainya kita jadi mereka. Apakah kira-kira kita puas dengan pekerjaan kita. Itu artinya bahwa bagi seorang yang beriman, sebuah celaan tidak semata-mata dipandang sebagai sebuah hinaan, akan tetapi juga cermin yang harus kita lihat untuk mengukur baik dan buruknya kita.

Rsulullah bersabda:
“dari Anas ra berkata: telah bersabda rasulullah SAW, berbahagialah orang yang selalu diingatkan oleh aibnya sendiri daripada aibnya oang lain” (HR. Al-Bazzar)

Dengan demikian, maka nilai ihsan yang akan kita kerjakan akan selalu mengedepankan hati nurani dan semangat semata-mata mencari ridha Allah SWT.

3. Istiqomah pada sebuah kebenaran
Kebenaran akan selalu berhadapan dengan keburukan. Dan keadilan selalu akan berhadapan dengan kedzaliman. Itu artinya bahwa kita harus menilai sesuatu itu benar bukan berdasarkan akal dan perasaan kita. Akan tetapi berdasarkan dasar Agama.

“Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu” (QS. Al-Baqarah: 147)

Dan kalau kita sudah menggunakan Tuhan sebagai ukuran sebuah kebenaran, maka janganlah kita mundur dan terpengaruh dengan hal-hal yang dapat mengaburkan dan menyilaukan sebuah kebenaran tersebut. Kebenaran dalam huum Allah tidak dapat divoting dengan banyak dan sedikitnya suara, menang dan kalahnya sebuah jumlah.
Allah berfirman:


وَإِن تُطِعۡ أَكۡثَرَ مَن فِي ٱلۡأَرۡضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۚ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا ٱلظَّنَّ وَإِنۡ هُمۡ إِلَّا يَخۡرُصُونَ


Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah) (QS. Al An’am : 116)

Rasulullah bersabda:
Dari Abu ‘Amr ada yang mengatakan abi ‘Amarah Sufyan bin ‘Abdullah ra, ia berkata: Saya berkata kepada Rasulullah, Wahai Rasulullah ajarkan kepada saya satu ucapan yang mencakup tentang Islam, yang mana saya tidak akan menanyakan kepada selain tuan, beliau menjawab: Katakanlah saya beriman kepada Allah kemudian teguhlah kamu dalam pendirianmu (tidak goyah dan terpengaruh/istiqomah) (HR. Muslim)

Sudah menjadi sunnatullah, bahwa orang-orang yang benar dan selalu mentaati kebenaran, akan selalu mendapatkan celaan di dunia. Bukan karena benar itu sendiri yang salah, akan tetapi kebenaran itu sendiri sebagai sebuah ujian yang harus dipertanggungjawabkan. Dan ujian kebenaran adalah celaan, hinaan, cacian dari orang lain. Dan hal tersebut akan selalu terjadi kepada siapa saja yang membawa bendera kebenaran. Baik para Nabi, sahabat-sahabat Nabi dan orang-orang yang beriman.

Jangan menjadikan sebuah celaan untuk mundur, akan tetapi gunakanlah celaan dan hinaan sebagai sebuah pendorong semangat dan etos kerja kita untuk mencapai kesuksesan dan kebahagian dengan mengedepankan ihsan dalam amaliah.

Semoga Allah SWT akan memberikan kekuatan Iman dan Ihsan kepada kita di dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Semoga hati kita akan dilindungi dan diselamatkan dari orang-orang yang dzalim dan kita diberi ketabahan lahir dan batin untuk tetap istiqomah kepada sebuah kebenaran. Aamin.

0 comments